EKOLOGI: ANALISIS VEGETASI MENGGUNAKAN METODE POINT CENTRE QUARTER DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO
ANALISIS
VEGETASI MENGGUNAKAN METODE POINT CENTRE QUARTER DI KAWASAN TAMAN NASIONAL
TESSO NILO
Shara
Aljogja Sandra
Program
Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau
ABSTRAK
Praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana analisis hubungan antara faktor fisika kimia lingkungan
dan bioindikator plankton benthos dalam menentukan kualitas Sungai Perbekalan.
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode eksperimen dan
observasi langsung. Perairan yang dijadikan sampel yaitu Sungai Perbekalan yang
berada di kawasan hutan Teso Nilo Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui
Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis
data, faktor fisika kimia lingkungan di perairan tersebut tidak optimum dan
mempengaruhi keberadaan komunitas plankton dan benthos menjadi rendah sehingga
perairan tersebut tergolong menjadi perairan yang tercemar berat dan kualitas
air yang sangat buruk.
Kata Kunci: vegetasi, point centre quarter, TNTN
PENDAHULUAN
Sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir
(lotik) yang mendapat masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di
daerah pemukiman, pertanian, dan industri di daerah sekitarnya. Sungai juga
merupakan suatu ekosistem yang berperan sebagai habitat dari berbagai organisme
akuatik, baik organisme tingkat tinggi maupun organisme tingkat rendah. Salah
satu faktor yang mempengaruhi fungsi sungai adalah kualitas airnya. Penurunan
kualitas air dipengaruhi oleh meningkatnya kandungan bahan pencemar yang masuk
ke sungai, sehingga nilai guna dan produktivitas dari sumber air akan ikut
berkurang (Hadisusanto dalam Afriza, 2011).
Sungai Perbekalan merupakan
anak sungai yang terdapat diantara kawasan hutan Tesso Nilo Desa Lubuk Kembang
Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Sungai Perbekalan
memiliki kedalaman ± 2 meter dengan kondisi air sungai berwarna merah
kekuningan dan substrat pada dasar sungai ini secara keseluruhan adalah pasir
berlumpur serta terdapat serasah.
Kualitas suatu perairan dapat dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor fisika kimia lingkungan dan faktor biologi (plankton dan
benthos). Faktor fisika kimia meliputi suhu, kecerahan suatu perairan, kecepatan
arus, kelarutan oksigen dalam air dan pH.
Benthos adalah organisme yang
hidupnya di dasar perairan (Hutabarat dan Evans, 1985). Kelompok hewan
makrobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. Apabila
terjadi perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran, maka hewan
makrobenthos tidak berpindah menuju daerah yang sesuai untuk kelangsungan
hidupnya (Hart dan Fuller, 1979 dalam Ruswahyuni, 1988). Sedangkan, plankton
adalah suatu komunitas meliputi tumbuhan dan hewan yang terdiri dari organisme
yang melayang baik yang mampu melawan arus maupun yang tidak (M. Zahidin, 2008).
Plankton yang mempunyai sifat selalu bergerak dapat juga dijadikan indikator
pencemaran perairan. Plankton akan bergerak mencari tempat yang sesuai dengan
hidupnya apabila terjadi pencemaran yang mengubah kondisi tempat hidupnya.
Dengan demikian terjadi perubahan susunan komunitas organisme di suatu perairan
dimana hal ini dapat dijadikan petunjuk terjadinya pencemaran di perairan.
Dalam hal ini terdapat jenis-jenis plankton yang dapat digunakan sebagai
petunjuk untuk mengetahui hal tersebut sesuai dengan kondisi biologi perairan
tersebut (Mulyanto, 1992).
Berdasarkan hal diatas,
terdapat rumusan masalah yaitu bagaimana analisis hubungan antara faktor fisika
kimia lingkungan dan bioindikator plankton benthos dalam menentukan kualitas
sungai perbakalan. Oleh karena itu, perlu dilakukan praktikum dengan tujuan
untuk mengetahui bagaimana analisis hubungan antara faktor fisika kimia
lingkungan dan bioindikator plankton benthos dalam menentukan kualitas sungai
perbakalan.
METODOLOGI
Pengukuran faktor fisika kimia
dan pencuplikan biota hewan (plankton dan benthos) telah dilakukan di Sungai
Perbekalan Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan Provinsi
Riau pada tanggal 20 Mei 2015. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah
metode eksperimen dan observasi langsung. Alat dan bahan yang digunakan adalah
plankton net, eckman grab, botol koleksi, plastik sampel, alkohol, pipet tetes,
keping sechi, bola pimpong, benang/tali, termometer Hg, indikator pH dan alat
tulis. Selanjutnya, hasil pencuplikan biota hewan (plankton dan benthos)
diidentifikasi di Laboratorium Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau pada
tanggal 22 Mei 2015. Alat dan bahan yang digunakan dalam identifikasi adalah
hasil pencuplikan biota hewan (plankton dan benthos), saringan benthos, air,
botol koleksi, mikroskop, lup, object
glass, cover glass, pipet tetes, dan
buku identifikasi plankton dan benthos.
Pengukuran faktor fisika kimia
lingkungan meliputi pengukuran suhu dengan menggunakan termometer Hg, pengukuran
kecerahan dengan menggunakan keping sechi, pengukuran pH dengan menggunakan
indikator pH, pengukuran oksigen terlarut dengan titrasi winkler dan pengukuran
kecepatan arus dengan menggunakan bola pimpong yang telah diikat benang.
Pencuplikan plankton menggunakan
plankton net dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) Botol koleksi
dipasangkan dengan erat ke bagian ujung kerucut jala plankton, (2) Dengan
memegang ujung talinya, kerucut jala berikut botol dan lilitan tali dihimpun di
sebelah dalam rangka logam. Seluruhnya dilemparkan atau dilepaskan dari
seberang tepi kolam. Lalu talinya segera ditarik. Tarikan yang terlalu lambat
akan menyebabkan jala itu tenggelam, sedangkan bila terlalu cepat akan meloncat-loncatkan
ke luar permukaan, (3) Apabila tarikan sudah dilakukan, jala dibasuh agar semua
organisme plantok masuk dalam botol koleksi, lakukan pembasuhan dengan
mencelup-celupkan secara vertikal jala itu berkali-kali ke dalam air, tanpa
melewati batas rangka logam dari mulut jala. Pencuplikan dengan tarikan
vertikal dilakukan dengan menurunkan jala ke lapisan dalam yang dikehendaki dan
kemudian ditarik ke atas secara perlahan-lahan, (4) Botol koleksi kemudian
dilepaskan dari jala dan tetesi alkohol ke dalam botol koleksi sebagai
pengawet, (5) Setelah ditutup rapat, botol koleksi diberi label, (6) Cuplikan
planton yang sudah diberi alkohol dapat disimpan lama hingga waktu pengerjaan
identifikasi, (7) Identifikasi plankton dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan mikroskop. Sebelum diidentifikasi, air yang berada didalam botol
koleksi dikocok agar populasi plankton tersebar merata, kemudian sampel diambil
dengan menggunakan pipet tetes sebanyak 0,05 ml dari 25 ml secara acak agar
kesempatan terambilnya plankton sama. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan
mikroskop.
Sedangkan pencuplikan benthos
dengan menggunakan eckman grab adalah: (1) Eckman grab dibuka dengan hati-hati,
sementara tali beserta logam pemacunya dipegang, pencuplik itu diturunkan
secara vertikal ke dasar perairan dengan perlahan-lahan, (2) Setelah menyentuh
dasar, logam pemacunya dilepas meluncur sepanjang jala yang terentang lurus.
Logam itu akan menyebabkan kedua belahan pengeruk menutup dan substrat perairan
berikut semua hewan benthos yang ditumpahkan ke dalam benjana atau kantong
plastik. Kemudian, tetesi alkohol ke dalam kantong plastik yang telah berisi
cuplikan tersebut, (3) Identifikasi benthos dilakukan dengan cara membilas
sebagian demi sebagian isi kerukan tersebut dengan air sekaligus disaring. Semua
hewan (sampai ukuran terkecil) dikumpulkan kedalam suatu wadah dan diberi
label. Setelah hewan-hewan diidentifikasi dan dihitung akan didapatkan
informasi kualitatif maupun kuantitatif (kerapatan) mengenai hewan-hewan
benthos perairan yang diteliti.
Parameter yang diamati dalam
pengukuran faktor fisika kimia lingkungan adalah kandungan oksigen terlarut,
suhu, kecerahan pH. Sedangkan parameter biologi (plankton dan benthos) adalah
komposisi jenis, kepadatan/kelimpahan, indeks keanekaragaman, dominansi jenis
dan kemerataan.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Keberadaan biota hewan sebagai
indikator perairan juga ditentukan oleh sifat fisika kimia lingkungan. Faktor
lingkungan yang memegang peranan penting untuk penyebaran biota hewan sangat
banyak yang pada umumnya adalah faktor abiotik yaitu kecerahan, pH, suhu,
kandungan oksigen terlarut (DO) dan arus air. Hasil pengukuran faktor fisika
kimia lingkungan yang telah dilakukan tersaji pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Hasil pengukuran faktor fisika-kimia
perairan di Sungai Perbekalan
|
Parameter
|
Stasiun
|
||
|
I
|
II
|
III
|
|
|
Kecerahan (cm)
|
78
|
78
|
52
|
|
Suhu air (⁰C)
|
25.8
|
26
|
25.8
|
|
DO (mg/L)
|
3.5
|
3.3
|
2.1
|
|
pH
|
6
|
6
|
5
|
|
Arus air (m/s)
|
4
|
2.2
|
2.7
|
Berdasarkan Tabel 1., diperoleh
nilai kecerahan pada Stasiun I sebesar 78 cm, Stasiun II sebesar 78 cm dan
Stasiun III sebesar 52 cm. Kecerahan pada Stasiun I dan Stasiun II memiliki
nilai yang sama, namun pada Stasiun III memiliki nilai yang lebih rendah
dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan oleh penetrasi cahaya matahari
yang kurang dan banyaknya zat-zat terlarut yang terdapat pada Stasiun III. Effendi
(2003) menyatakan bahwa kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang
juga disebabkan adanya bahan organik dan anorganik baik yang tersuspensi dan
terlarut, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan
mikrooganisme lainnya. Tingginya tingkat kekeruhan di perairan dapat mengakibatkan
terganggunya sistem pernafasan dan daya lihat organisme akuatik dan dapat
menghambat penerasi cahaya ke dalam air.
Suhu pada Stasiun I sebesar
25,80C, Stasiun II sebesar 260C dan Stasiun III sebesar
25,80C. Secara keseluruhan, suhu di perairan Sungai Perbekalan ini
relatif sama dan tergolong optimum karena sesuai dengan kriteria suhu optimum
menurut Effendi (2003) yaitu sebesar 200C-300C.
Berkurangnya oksigen terlarut mengakibatkan
masalah yang cukup serius pada kehidupan hewan makrobenthos (Odum, 1971). Kandungan
oksigen terlarut yang optimum dalam suatu perairan yaitu lebih 5 mg/L (Kep. Men
LH 51/2004). Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada Stasiun I sebesar
3,5 mg/L, Stasiun II sebesar 3,3 mg/L dan Stasiun III sebesar 2,1 mg/L. Secara
keseluruhan, hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di Sungai Perbekalan
ini tergolong tidak optimum dikarenakan memiliki kandungan oksigen terlarut
dibawah 5 mg/L.
Derajat keasaman (pH) merupakan
suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen. Nilai pH berkisar mulai dari angka
0 hingga 14, nilai 7 menunjukkan kondisi bersifat netral. Nilai pH di bawah 7
menunjukkan kondisi bersifat asam dan nilai di atas 7 bersifat basa (Boyd,
1991). Nilai pH yang diperoleh pada percobaan ini berada dibawah 7, sehingga
perairan ini dapat dinyatakan bersifat asam.
Kecepatan arus setiap aliran
sungai berbeda-beda. Hal ini dikarenakan kondisi fisik dan lokasi sungai yang
berbeda. Hasil pengukuran arus air dari yang tertinggi yaitu pada Stasiun I sebesar
4 m/s, Stasiun III sebesar 2,7 m/s dan Stasiun II sebesar 2,2 m/s.
Secara keseluruhan, berdasarkan
pengukuran faktor fisika kimia lingkungan yang diperoleh menunjukkan bahwa
kondisi perairan tergolong tidak optimum. Faktor fisika kimia lingkungan akan
mempengaruhi keberadaan biota hewan termasuk plankton dan benthos. Pada Tabel
2. dapat dilihat hasil analisis pencuplikan plankton.
Tabel 2. Hasil analisis data pencuplikan
plankton di Sungai Perbekalan
|
Parameter
|
Stasiun
|
||
|
I
|
II
|
III
|
|
|
Jumlah (Σ)
|
400
|
362
|
291
|
|
Komposisi Jenis (Pi)
|
0,38
|
0,34
|
0,27
|
|
Kelimpahan (F)
|
403,33
|
365,01
|
292,41
|
|
Indeks Keanekaragaman (H’)
|
0,36
|
0,36
|
0,35
|
|
Dominansi Jenis (C)
|
0,14
|
0,11
|
0,07
|
|
Kemerataan (E)
|
0,06
|
0,06
|
0,06
|
Berdasarkan
Tabel 2., jumlah plankton dari yang tertinggi yang diperoleh di Sungai
Perbekalan berturut-turut adalah Stasiun I sebesar 400 ind, Stasiun II sebesar
363 ind dan Stasiun III 291 ind. Kelimpahan plankton tertinggi berturut-turut pada
pengambilan sampel yaitu pada Stasiun I dengan kelimpahan 511.233,45 ind/L, Stasiun II sebesar 437.623,9
ind/L, dan Stasiun III sebesar 299.479,95 ind/L.
Indeks
keanekaragaman pada Stasiun I dan Stasiun II memiliki nilai yang relatif sama
yaitu 0,36, pada Stasiun III juga memiliki nilai indeks keanekaragaman sebesar
0,35 yang tidak berbeda signifikan dengan stasiun lainnya. Secara keseluruhan,
masing-masing stasiun menunjukkan indeks keanekaragaman kurang dari 1.
Kementrian Lingkungan Hidup (1995) menyatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman
< 1,00 termasuk dalam kondisi pencemaran berat. Selain itu, indeks
keanekaragaman juga dapat menunjukkan kondisi komunitas plankton yang terdapat
di perairan tersebut dalam komunitas yang rendah.
Nilai
dominansi jenis plankton di Sungai Perbekalan berkisar antara 0-0,5. Hal ini
menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak terdapat jenis plankton yang
mendominasi. Sedangkan secara keseluruhan nilai kemerataan plankton yang
diperoleh adalah sebesar 0,6. Nilai yang mendekati 1 menunjukkan tingkat
kemerataan yang semakin tingi. Dengan demikian, berdasarkan nilai kemerataan,
maka jenis plankton yang ada di Sungai Perbekalan tergolong tidak merata.
Selain
plankton, keberadaan benthos juga dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran
perairan. Hasil analisis pencuplikan benthos dapat dilihat pada Tabel 3.
berikut ini.
Tabel 3. Hasil analisis data pencuplikan
benthos di Sungai Perbekalan
|
Parameter
|
Stasiun
|
||
|
I
|
II
|
III
|
|
|
Jumlah (Σ)
|
10
|
4
|
13
|
|
Komposisi Jenis (Pi)
|
0,37
|
0,14
|
0,48
|
|
Kepadatan (K)
|
444,44
|
177,77
|
577,77
|
|
Indeks Keanekaragaman (H’)
|
0,36
|
0,28
|
0,35
|
|
Dominansi Jenis (C)
|
0,13
|
0,02
|
0,23
|
|
Kemerataan (E)
|
0,16
|
0,20
|
0,13
|
Berdasarkan
Tabel 3., jumlah benthos yang diperoleh pada Stasiun I sebesar 10 spesies,
Stasiun II sebesar 4 spesies dan Stasiun III sebesar 13 spesies. Hal ini
menunjukkan bahwa pada Stasiun III memiliki jumlah spesies paling banyak.
Komposisi jenis pada Stasiun I sebesar 0,37, Stasiun II sebesar 0,14 dan
Stasiun III sebesar 0,48. Kepadatan benthos tertinggi berturut-turut pada
pengambilan sampel yaitu pada Stasiun III, Stasiun I dan Stasiun II dengan
kepadatan sebesar 577,77 ind/m2,
444,44 ind/m2, 177,77 ind/m2.
Indeks
keanekaragaman tertinggi berturut-turut yaitu terdapat pada Stasiun I sebesar
0,36, Stasiun III sebesar 0,35 dan Stasiun II 0,28. Keseluruhan stasiun
menunjukkan indeks keanekaragaman kurang dari 1. Sama halnya dengan indeks
keanekaragaman plankton, indeks keanekaragaman benthos juga menunjukkan bahwa
kondisi perairan tersebut tercemar berat, kualitas air yang sangat buruk dan
komunitas benthos tergolong rendah.
Nilai
dominansi jenis pada Stasiun I sebesar 0,13, Stasiun II sebesar 0,02 dan
Stasiun III sebesar 0,23. Secara keseluruhan, nilai dominansi benthos berkisar
antara 0-0,5. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak terdapat
jenis benthos yang mendominasi. Kemerataan benthos dari nilai yang paling
tinggi yaitu pada Stasiun II sebesar 0,20, Stasiun I sebesar 0,16 dan Stasiun III
sebesar 0,13. Nilai kemerataan benthos secara umum berkisar antara 0-1. Nilai
yang mendekati 1 menunjukkan tingkat kemerataan yang semakin tingi. Dengan
demikian, berdasarkan nilai kemerataan benthos yang diperoleh, maka jenis benthos
yang ada di Sungai Perbekalan tidak merata.
KESIMPULAN
Berdasarkan data yang
diperoleh, dapat disimpulkan bahwa faktor fisika kimia lingkungan berhubungan
dengan bioindikator plankton benthos dan dapat menunjukkan kualitas sungai
perbekalan. Hasil pengukuran faktor fisika kimia lingkungan menunjukkan bahwa
lingkungan perairan tergolong tidak optimum untuk mendukung keberadaan biota
hewan, sehingga menyebabkan komunitas plankton dan benthos menjadi rendah. Rendahnya
keberadaan komunitas plankton dan benthos menunjukkan bahwa perairan Sungai
Perbekalan tercemar berat dan kualitas air sangat buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
Afriza, A.
2011. Kualitas Perairan Sungai Bangko di Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten
Rokan Hilir Berdasarkan Bioindikator Makrozoobenthos. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Biologi FKIP UR. Pekanbaru
Boyd, C. E.
1991. Water Quality Management Pond Fish Culture-Pengelolaan Kualitas Air di Kolom
Ikan (Diterjemahkan oleh Cholik,K. Artati, dan R. Arifudin) Direktorat
Jenderal Perikanan. Jakarta
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Hutabarat, S
dan M. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). 1995. Berbagai
Indikator Kualitas Perairan. Tim Perumus, Jakarta.
M. Zahidin. 2008. Kajian Kualitas Air di Muara
Sungai Pekalongan Ditinjau dari Indeks Keanekaragaman Makrobenthos dan Indeks
Keanekaragaman Saprobitas Plankton. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro. Semarang
Mulyanto, S.
1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Odum, E.P.
1971. Fundamentals of Ecology. W.B.
Sounders Company, Toronto.
Ruswahyuni. 1988. Hewan Makrobenthos dan Kunci
Identifikasi Polychaeta dalam: Workshop Budidaya Laut Perguruan Tinggi Se-Jawa
Tengah. Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai. Prof. Dr. Gatot Rahardjo
Joenoes. Universitas Diponegoro. Semarang
Komentar
Posting Komentar