EKOLOGI: PENGARUH FAKTOR FISIKA KIMIA LINGKUNGAN TERHADAP KEBERADAAN BIOTA HEWAN DAN KUALITAS PERAIRAN
PENGARUH
FAKTOR FISIKA KIMIA LINGKUNGAN TERHADAP KEBERADAAN BIOTA HEWAN DAN KUALITAS
PERAIRAN
Shara
Aljogja Sandra
Program
Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau
RINGKASAN
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui faktor fisika kimia lingkungan terhadap keberadaan biota hewan (plankton
dan benthos) dan kualitas perairan. Metode yang digunakan dalam percobaan ini
adalah metode eksperimen dan observasi langsung. Perairan yang dijadikan sampel
yaitu kolam utama depan Gedung Rektorat Universitas Riau. Berdasarkan hasil
percobaan, faktor fisika kimia lingkungan di perairan tersebut tidak optimum
sehingga mempengaruhi keberadaan komunitas biota hewan (plankton dan benthos) menjadi
rendah dan perairan tersebut tercemar berat serta kualitas air yang sangat
buruk.
PENDAHULUAN
Kualitas air dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor fisika kima lingkungan dan faktor biologi (plankton dan benthos). Faktor
fisika kimia meliputi suhu, kecerahan suatu perairan, kelarutan oksigen dalam
air dan pH.
Suhu air dipengaruhi komposisi substrat, kecerahan,
kekeruhan, air tanah dan pertukaran air, panas udara akibat respirasi dan
naungan dari kondisi perairan tersebut. Kecerahan suatu perairan menentukan
sejauh mana cahaya matahari dapat menembus suatu perairan dan sampai kedalaman
berapa proses fotosintesis dapat berlangsung sempurna. Kecerahan yang mendukung
adalah apabila keping sechi mencapai 20-40 cm dari permukaan (Chakroff dalam Syukur,
2002). Novotny dan Olem, 1994 (dalam Effendi, 2003) menyatakan bahwa sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH
sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokomia perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Sedangkan menurut
Haslam, 1995 (dalam Effendi, 2003) menambahkan bahwa pada pH < 4, sebagian
besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertolerensi terhadap pH rendah.
Kelarutan oksigen dalam air tergantung dari suhu air. Kelarutan
oksigen dalam air akan berkurang dari 14,74 mg/L pada suhu 0 0C
menjadi 7,03 m/L pada suhu 35 0C. Kenaikkan suhu air terjadi pula
penurunan kelarutan oksigen yang disertai dengan naiknya kecepatan pernapasan
organisme perairan, sehingga sering menyebabkan terjadinya kenaikkan kebutuhan
oksigen yang disertai dengan turunnya kelarutan gas-gas lain di dalam air. Peningkatan
suhu sebesar 1 0C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10.
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar
oksigen terlarut hingga mencapai nol (Brown dalam Effendi, 2003). Kasry (2002) mengemukakan bahwa tingginya
tingkat CO2 bebas dalam air dihasilkan dari proses perombakan bahan
organik dan mikroba. Kadar karbondioksida bebas yang dikehendaki tidak lebih
dari 12 mg/L dan kandungan terendah adalah 2 mg/L. Kandungan karbondioksida
bebas diperairan tidak lebih dari 25 mg/L dengan catatan kadar oksigen terlarut
cukup tinggi.
Benthos adalah organisme yang
hidupnya di dasar perairan (Hutabarat dan Evans, 1985). Kelompok hewan
makrobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. Apabila
terjadi perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran, maka hewan
makrobenthos tidak berpindah menuju daerah yang sesuai untuk kelangsungan
hidupnya. Hewan makrobenthos relatif mudah diidentifikasi dan adanya akumulasi
bahan pencemar di dalam hewan makrobenthos. Apabila pencemaran meningkat, maka
akan mempengaruhi jumlah dari spesies yang ada, sebab hanya beberapa spesies
atau spesies tertentu yang dapat bertahan dan adanya spesies yang mendominasi
(Hart dan Fuller, 1979 dalam Ruswahyuni, 1988). Sedangkan, plankton adalah
suatu komunitas meliputi tumbuhan dan hewan yang terdiri dari organisme yang
melayang baik yang mampu melawan arus maupun yang tidak (M. Zahidin, 2008). Plankton
yang mempunyai sifat selalu bergerak dapat juga dijadikan indikator pencemaran
perairan. Plankton akan bergerak mencari tempat yang sesuai dengan hidupnya
apabila terjadi pencemaran yang mengubah kondisi tempat hidupnya. Dengan
demikian terjadi perubahan susunan komunitas organisme di suatu perairan dimana
hal ini dapat dijadikan petunjuk terjadinya pencemaran di perairan. Dalam hal
ini terdapat jenis-jenis plankton yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
mengetahui hal tersebut sesuai dengan kondisi biologi perairan tersebut (Mulyanto,
1992).
Berdasarkan hal diatas,
terdapat rumusan masalah yaitu bagaimana pengaruh faktor fisika kimia
lingkungan terhadap keberadaan biota hewan (plankton dan benthos) dan kualitas
perairan. Maka perlu dilakukan praktikum dengan tujuan untuk mengetahui faktor
fisika kimia lingkungan terhadap keberadaan biota hewan (plankton dan benthos) dan
kualitas perairan.
METODOLOGI
Pengukuran faktor fisika kimia
dan pencuplikan biota hewan (plankton dan benthos) dilakukan di kolam utama
depan Gedung Rektorat Universitas Riau yang pada tanggal 1 April 2015. Metode
yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode eksperimen dan observasi
langsung. Alat dan bahan yang digunakan adalah plankton net, eckman grab, botol
koleksi, plastik sampel, alkohol, pipet tetes, keping sechi, termometer Hg,
indikator pH dan alat tulis. Selanjutnya, hasil pencuplikan biota hewan
(planton dan benthos) diidentifikasi di Laboratorium Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Riau pada tanggal 3 April 2015. Alat dan bahan yang digunakan dalam
identifikasi adalah hasil pencuplikan biota hewan (plankton benthos) saringan
benthos, air, botol koleksi, mikroskop, lup, object glass, cover glass,
pipet tetes, dan buku udentifikasi plankton dan benthos.
Pengukuran faktor fisika kimia
lingkugnan meliputi pengukuran suhu dapat menggunakan termometer Hg, pengukuran
kecerahan dapat menggunakan keping sechi, pengukuran pH dapat menggunakan
indikator pH, dan pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan titrasi winkler.
Pencuplikan plankton
menggunakan plankton net dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) Botol
koleksi dipasangkan dengan erat ke bagian ujung kerucut jala plankton, (2) Dengan
memegang ujung talinya, kerucut jala berikut botol dan lilitan tali dihimpun di
sebelah dalam rangka logam. Seluruhnya dilemparkan atau dilepaskan dari
seberang tepi kolam. Lalu talinya segera ditarik. Tarikan yang terlalu lambat
akan menyebabkan jala itu tenggelam, sedangkan bila terlalu cepat akan meloncat-loncatkan
ke luar permukaan, (3) Apabila tarikan sudah dilakukan, jala dibasuh agar semua
organisme plantok masuk dalam botol koleksi, lakukan pembasuhan dengan
mencelup-celupkan secara vertikal jala itu berkali-kali ke dalam air, tanpa
melewati batas rangka logam dari mulut jala. Pencuplikan dengan tarikan
vertikal dilakukan dengan menurunkan jala ke lapisan dalam yang dikehendaki dan
kemudian ditarik ke atas secara perlahan-lahan, (4) Botol koleksi kemudian
dilepaskan dari jala dan tetesi alkohol ke dalam botol koleksi sebagai
pengawet, (5) Setelah ditutup rapat, botol koleksi diberi label, (6) Cuplikan
planton yang sudah diberi alkohol dapat disimpan lama hingga waktu pengerjaan
identifikasi, (7) Identifikasi plankton dilakukan di laboratorium dengan menggunakan
mikroskop. Sebelum diidentifikasi, air yang berada didalam botol koleksi
dikocok agar populasi plankton tersebar merata, kemudian sampel diambil dengan
menggunakan pipet tetes sebanyak 0,05 ml dari 25 ml secara acak agar kesempatan
terambilnya plankton sama. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan mikroskop.
Sedangkan pencuplikan benthos
dengan menggunakan eckman grab adalah: (1) Eckman grab dibuka dengan hati-hati,
sementara tali beserta logam pemacunya dipegang, pencuplik itu diturunkan secara
vertikal ke dasar perairan dengan perlahan-lahan, (2) Setelah menyentuh dasar,
logam pemacunya dilepas meluncur sepanjang jala yang terentang lurus. Logam itu
akan menyebabkan kedua belahan pengeruk menutup dan substrat perairan berikut
semua hewan benthos yang ditumpahkan ke dalam benjana atau kantong plastik.
Kemudian, tetesi alkohol ke dalam kantong plastik yang telah berisi cuplikan
tersebut, (3) Identifikasi benthos dilakukan dengan cara membilas sebagian demi
sebagian isi kerukan tersebut dengan air sekaligus disaring. Semua hewan
(sampai ukuran terkecil) dikumpulkan kedalam suatu wadah dan diberi label. Setelah
hewan-hewan diidentifikasi dan dihitung akan didapatkan informasi kualitatif
maupun kuantitatif (kerapatan) mengenai hewan-hewan benthos perairan yang
diteliti.
Parameter yang diamati dalam
pengukuran faktor fisika kimia lingkungan adalah kandungan oksigen terlarut,
suhu, kecerahan pH. Sedangkan parameter biologi (plankton dan benthos) adalah
komposisi jenis, kepadatan/kelimpahan, indeks keanekaragaman, dominansi jenis
dan kemerataan.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Keberadaan biota hewan sebagai
indikator perairan juga ditentukan oleh sifat fisika kimia lingkungan. Faktor
lingkungan yang memegang peranan penting untuk penyebaran biota hewan sangat
banyak yang pada umumnya adalah faktor abiotik yaitu kecerahan, suhu, pH dan
kandungan oksigen terlarut (DO). Hasil pengukuran faktor fisika kimia lingkungan
yang telah dilakukan tersaji pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Hasil pengukuran faktor fisika-kimia
perairan
|
Stasiun
|
Kecerahan (cm)
|
Suhu (0C)
|
pH
|
DO (mg/L)
|
|
I
|
45
|
36,2
|
6
|
3,3
|
|
II
|
47
|
35,3
|
6
|
3,6
|
|
III
|
42
|
35
|
5
|
2,9
|
Berdasarkan Tabel 1., pada Stasiun
I, diperoleh nilai kecerahan sebesar 45 cm dan kandungan oksigen terlarut
sebesar 3,3 mg/L yang tergolong nilai sedang dibandingkan dengan stasiun
lainnya. Namun, suhu pada Stasiun I lebih tinggi yaitu sebesar 36,20C
dan pH sebesar 6.
Pada Stasiun II, diperoleh
nilai kecerahan sebesar 47 cm dan kandungan oksigen terlarut sebesar 3,6 mg/L yang
tergolong nilai sangat tinggi dibandingkan stasiun lainnya dengan suhu yang lebih
rendah dibanding suhu pada Stasiun I yaitu sebesar 35,30C dan pH
sebesar 6.
Sedangkan pada Stasiun III,
diperoleh nilai kecerahan sebesar 42 cm, kandungan oksigen terlarut sebesar 2,9
mg/L, suhu sebesar 350C dan pH sebesar 5 yang tergolong nilai paling rendah
dibandingkan Stasiun lainnya.
Hasil percobaan yang telah
diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kecerahan pada suatu perairan
maka kandungan oksigen terlarut akan semakin tinggi dan suhu semakin meningkat.
Hal ini disebabkan, tingginya kecerahan suatu perairan berhubungan dengan
intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan tersebut. Intensitas
cahaya matahari akan mempengaruhi proses fotosintesis fitoplankton dalam
menghasilkan oksigen. Selain itu, intensitas cahaya matahari yang tinggi juga
akan meningkatkan suhu perairan tersebut.
Kecerahan dipengaruhi oleh
zat-zat terlarut dalam perairan sehingga berhubungan dengan penetrasi sinar
matahari. Menurut Nybakken (1988) makin tinggi kecerahan, maka intensitas
cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar. Effendi (2003)
menyatakan bahwa kecerahan perairan berlawanan dengan kekeruhan yang juga
disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun
bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme lainnya.
Akibat kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat
organisme akuatik, serta dapat menghambat penerasi cahaya ke dalam air.
Salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme adalah suhu
(Nybakken, 1988). Suhu perairan yang diperoleh dalam percobaan ini tergolong
tidak optimum untuk biota hewan. Hal ini dikarenakan, suhu optimum menurut
Effendi (2003) dalam suatu perairan yaitu 200C-300C.
Berkurangnya oksigen terlarut mengakibatkan
masalah yang cukup serius pada kehidupan hewan makrobenthos. Demikian pula
berkurangnya oksigen terlarut biasanya dikaitkan dengan tingginya bahan organik
yang masuk ke dalam perairan. Besarnya kandungan oksigen terlarut sangat
dipengaruhi oleh laju fotosintesis, respirasi, temperatur, salinitas, dan
dekomposisi (Odum, 1971). Kandungan oksigen terlarut yang optimum dalam suatu
perairan yaitu lebih 5 mg/L (Kep. Men LH 51/2004). Hasil pengukuran kandungan
oksigen terlarut pada percobaan ini tergolong tidak optimum dikarenakan
memiliki kandungan oksigen terlarut dibawah 5 mg/L.
Derajat keasaman (pH) merupakan
suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen. Kondisi tersebut akan menunjukkan suasana air itu bereaksi
asam atau basa. Nilai pH berkisar mulai dari angka 0 hingga 14, nilai 7
menunjukkan kondisi bersifat netral. Nilai pH di bawah 7 menunjukkan kondisi
bersifat asam dan nilai di atas 7 bersifat basa (Boyd, 1991). Nilai pH yang diperoleh
pada percobaan ini berada dibawah 7, sehingga perairan ini dapat dinyatakan
bersifat asam.
Secara keseluruhan, berdasarkan
pengukuran faktor fisika kimia lingkungan yang diperoleh menunjukkan bahwa
kondisi perairan tergolong tidak optimum. Faktor fisika kimia lingkungan akan
mempengaruhi keberadaan biota hewan termasuk plankton dan benthos. Pada Tabel
2. dapat dilihat hasil analisis pencuplikan plankton.
Tabel 2. Hasil analisis data pencuplikan
plankton
|
Stasiun
|
Σ
|
Pi
|
F
|
H'
|
C
|
E
|
|
I
|
507
|
0,41
|
511.233,45
|
0,366
|
0,17
|
0,059
|
|
II
|
434
|
0,35
|
437.623,9
|
0,367
|
0,12
|
0,061
|
|
III
|
297
|
0,24
|
299.479,95
|
0,342
|
0,06
|
0,060
|
(Ket : Pi = komposisi jenis;
F = kelimpahan; H’ = indeks
keanekaragaman jenis; C = dominansi jenis; E = kemerataan)
Berdasarkan
Tabel 2., jumlah plankton pada stasiun I didapatkan sebesar 507 spesies dengan
komposisi jenis 0,41, jumlah plankton pada Stasiun II sebesar 434 dengan
komposisi jenis 0,35 dan jumlah plankton pada Stasiun III sebesar 297 dengan
komposisi jenis 0,24. Kelimpahan plankton tertinggi berturut-turut pada
pengambilan sampel yaitu pada Stasiun I dengan kelimpahan 511.233,45 ind/L, Stasiun II sebesar 437.623,9
ind/L, dan Stasiun III sebesar 299.479,95 ind/L.
Jumlah
plankton yang ditangkap dapat digunakan untuk menentukan nilai indeks keanekaragaman
(H’) dan kemerataan (E) perairan. Indeks keanekaragaman tertinggi
berturut-turut yaitu terdapat pada Stasiun II sebesar 0,367, Stasiun I sebesar
0,366 dan Stasiun III 0,342. Keseluruhan stasiun menunjukkan indeks
keanekaragaman kurang dari 1. Apabila indeks keanekaragaman kurang dari 1
menunjukkan bahwa kondisi perairan tersebut tercemar berat dan kualitas air
yang sangat buruk. Kementrian Lingkungan Hidup (1995) menyatakan bahwa nilai
indeks keanekaragaman < 1,00 termasuk dalam kondisi pencemaran berat. Selain
itu, indeks keanekaragaman juga dapat menunjukkan kondisi komunitas plankton
yang terdapat di perairan tersebut dalam komunitas yang rendah.
Nilai
dominansi jenis pada Stasiun I sebesar 0,17, Stasiun II sebesar 0,12 dan
Stasiun III sebesar 0,06. Secara keseluruhan, nilai dominansi plankton berkisar
antara 0,0,5. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak terdapat
jenis plankton yang mendominasi.
Kemerataan
plankton dari nilai yang paling tinggi yaitu pada Stasiun II sebesar 0,061,
Stasiun III sebesar 0,060 dan Stasiun I sebesar 0,059. Hasil perhitungan
terhadap nilai kemerataan diperoleh kisaran antara 0,59-0,61. Nilai kemerataan
secara umum berkisar antara 0-1. Nilai yang mendekati 1 menunjukkan tingkat
kemerataan yang semakin tingi. Dengan demikian, berdasarkan nilai kemerataan,
maka jenis plankton yang ada pada masing-masing stasiun tidak terlalu merata.
Selain
plankton, keberadaan benthos juga dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran
perairan. Hasil analisis pencuplikan benthos dapat dilihat pada Tabel 3.
berikut ini.
Tabel 3. Hasil analisis data pencuplikan
benthos
|
Stasiun
|
Σ
|
Pi
|
K
|
H'
|
C
|
E
|
|
I
|
28
|
0,29
|
21.000.000
|
0,358
|
0,082
|
0,107
|
|
II
|
27
|
0,28
|
20.250.000
|
0,355
|
0,076
|
0,108
|
|
III
|
43
|
0,44
|
32.250.000
|
0,361
|
0,193
|
0,096
|
(Ket : Pi = komposisi jenis; K
= kepadatan; H’ = indeks keanekaragaman jenis; C = dominansi jenis; E =
kemerataan)
Berdasarkan
Tabel 3., jumlah benthos pada stasiun I didapatkan sebesar 28 spesies dengan
komposisi jenis 0,29, jumlah benthos pada Stasiun II sebesar 27 dengan komposisi
jenis 0,28 dan jumlah benthos pada Stasiun III sebesar 43 dengan komposisi
jenis 0,44. Komposisi jenis benthos tertinggi yaitu terdapat pada Stasiun III.
Kepadatan
benthos tertinggi berturut-turut pada pengambilan sampel yaitu pada Stasiun III,
Stasiun I dan Stasiun II dengan kepadatan sebesar 32.250.000 ind/m2, 21.000.000
ind/m2, 20.250.000 ind/m2.
Jumlah
benthos yang ditangkap dapat digunakan untuk menentukan nilai indeks
keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) perairan. Indeks keanekaragaman
tertinggi berturut-turut yaitu terdapat pada Stasiun III sebesar 0,361, Stasiun
I sebesar 0,358 dan Stasiun II 0,355. Keseluruhan stasiun menunjukkan indeks
keanekaragaman kurang dari 1. Sama halnya dengan indeks keanekaragaman
plankton, indeks keanekaragaman benthos juga menunjukkan bahwa kondisi perairan
tersebut tercemar berat, kualitas air yang sangat buruk dan komunitas benthos
tergolong rendah.
Nilai
dominansi jenis pada Stasiun I sebesar 0,082, Stasiun II sebesar 0,076 dan
Stasiun III sebesar 0,193. Secara keseluruhan, nilai dominansi benthos berkisar
antara 0,0,5. Hal ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak terdapat
jenis benthos yang mendominasi.
Kemerataan
benthos dari nilai yang paling tinggi yaitu pada Stasiun II sebesar 0,108,
Stasiun I sebesar 0,107 dan Stasiun III sebesar 0,096. Hasil perhitungan
terhadap nilai kemerataan diperoleh kisaran antara 0,096-0,108. Nilai
kemerataan benthos secara umum berkisar antara 0-1. Nilai yang mendekati 1
menunjukkan tingkat kemerataan yang semakin tingi. Dengan demikian, berdasarkan
nilai kemerataan benthos yang diperoleh, maka jenis benthos yang ada pada
masing-masing stasiun tidak terlalu merata.
KESIMPULAN
Faktor fisika kimia pada
perairan kolam utama depan Gedung Rektorat Universitas Riau tergolong tidak
optimum untuk mendukung keberadaan biota hewan. Sehingga komunitas biota hewan
tersebut menjadi rendah. Rendahnya keberadaan biota hewan menunjukkan bahwa
perairan tersebut tercemar berat dan kualitas air sangat buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
Boyd, C. E.
1991. Water Quality Management Pond Fish Culture-Pengelolaan Kualitas Air di
Kolom Ikan (Diterjemahkan oleh Cholik,K. Artati, dan R. Arifudin) Direktorat
Jenderal Perikanan. Jakarta
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Hutabarat, S
dan M. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Kasry, A., 2002. Diktat
Pengantar Perikanan Dan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau. Pekanbaru.
Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). 1995. Berbagai
Indikator Kualitas Perairan. Tim Perumus, Jakarta.
M. Zahidin. 2008. Kajian Kualitas Air di Muara Sungai
Pekalongan Ditinjau dari Indeks Keanekaragaman Makrobenthos dan Indeks
Keanekaragaman Saprobitas Plankton. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang
Mulyanto, S.
1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Nybakken,
J.M. 1988. Biologi Laut : Suatu
Pendekatan Ekologis (diterjemahkan oleh H.M. Eidmar, Koesoebiono, D.G.
Bengen, M. Hutomo dan D. Sukardjo). Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P.
1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company, Toronto.
Ruswahyuni.
1988. Hewan Makrobenthos dan Kunci Identifikasi Polychaeta dalam: Workshop
Budidaya Laut Perguruan Tinggi Se-Jawa Tengah. Laboratorium Pengembangan
Wilayah Pantai. Prof. Dr. Gatot Rahardjo Joenoes. Universitas Diponegoro.
Semarang
Syukur,
A. 2002. Kualitas Air dan Struktur Komunitas Phytoplankton di Waduk Uwai. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Komentar
Posting Komentar