EKOLOGI: PENGARUH FAKTOR FISIKA KIMIA TANAH TERHADAP KEBERADAAN HEWAN TANAH
PENGARUH FAKTOR FISIKA KIMIA TANAH TERHADAP KEBERADAAN HEWAN TANAH
Shara Aljogja Sandra
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Riau
ABSTRAK
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh faktor
fisika kimia tanah terhadap keberadaan hewan tanah. Metode yang digunakan dalam
percobaan ini adalah metode eksperimen dan observasi langsung. berdasarkan
hasil percobaan diperoleh bahwa semakin optimal faktor fisika kimia tanah di
suatu lingkungan maka semakin tinggi keberadaan hewan tanah di lingkungan
tersebut. Hal ini disebabkan faktor fisika kimia tanah yang optimal merupakan
habitat yang baik dan menyediakan nutrisi yang cukup untuk kelangsungan hidup
hewan tanah tersebut.
Kata Kunci: Faktor fisika, faktor kimia, hewan tanah
PENDAHULUAN
Bagi ekosistem darat, tanah
merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan melalui
akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, seng dan
mineral esensi lainnya melalui akar-akar tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan
mengubah karbon dioksida (masuk melalui stomata daun) menjadi protein,
karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan
dan semua heterotrof bergantung pada suhu dan air dimana tanah merupakan
penentu utama dalam produktivitas bumi (Hardjowigeno, 2007). Struktur tanah menunjukkan kombinasi atau susunan
partikel-partikel tanah primer (pasir, debu, dan liat) sampai pada
partikel-partikel sekunder yang disebut juga agregat. Struktur suatu horizon yang berbeda satu profil
tanah merupakan satu ciri penting tanah, seperti warna tekstur atau komposisi
kimia. Struktur mengubah pengaruh tekstur dengan memperhatikan hubungan
kelembaban udara. Bahan organik merupakan sebuah bahan utama pewarnaan tanah
tergantung pada keadaan alaminya, jumlah dan penyebaran dalam profil tanah
tersebut. Bahan organik biasanya tertinggi di lapisan permukaan tanah di daerah
sedang warna permukaan tanahnya agak gelap (Foth, 1998).
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah
sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan
kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah disuatu daerah sangat
tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan
biotik (Suin, 2006).
Faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor
fisika dan faktor kimia. Faktor fisika
antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia
antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral
tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas
hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat. Faktor lingkungan biotik bagi hewan
tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti
mikrofauna, mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainnya. Pada
komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit
(Leksono,2007).
METODOLOGI
Pengukuran faktor fisika kimia tanah dan pencuplikan hewan tanah
dilakukan di lingkungan sekitar kampus Universitas Riau dan diidentifikasi di
Laboratorium Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau. Percobaan ini dilakukan
pada tanggal 24 Maret 2015 hingga 14 April 2015. Metode yang digunakan dalam
percobaan ini adalah metode eksperimen dan observasi langsung. Alat dan bahan
yang digunakan adalah tanah cuplikan, termometer Hg, tabung reaksi, akuades,
indikator pH, kantong plastik, gambar diagram segitiga tekstur tanah dan
sebaran besaran butir, corong Barlese-Tulgran, alkohol 70%, vaseline, gelas
plastik dan alat tulis.
Pengukuran faktor fisika tanah dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: (1) Warna tanah diamati dan ditentukan, (2) Suhu tanah diukur dengan
menggunakan termometer Hg yang dimasukkan langsung ke permukaan tanah selama
beberapa menit dan hasil pengukuran dicatat, (3) Konsistensi tanah ditentukan
dengan meremas dan menekan masa tanah tersebut, (4) Penentuan tekstur tanah di
lapangan dengan mengunakan masa tanah yang dibasahi dengan air dan
dipijat-pijat dengan jari telunjuk dan ibu jari, kemudian sambil dirasa-rasakan
dibentuklah bola lembab, digulung-gulung dan dilihat daya tahannya terhadap
tekanan dan kelekatannya sewaktu jari telunjuk dan ibu jari dipisahkan. Dari
hasil pembentukan bola, gulungan kelekatan dan rasa licin/kasar dapat
ditentukan tekstur tanah, (5) Penentuan tekstur tanah di laboratorium dilakukan
dengan menggunakan 10 gram tanah yang dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan akuades dan digoyangkan sampai campuran tanah menjadi homogen.
Campuran tanah tersebut dibiarkan mengendap dan membentuk lapisan partikel tanah
berdasarkan ukuran fraksinya. Lapisan bawah : pasir, lapisan tengah : debu,
lapisan atas : liat. setelah itu, perhitungan persentase dilakukan dari
pasir-debu-liat dengan total fraksi yang dianggap 100% kemudian tekstur tanah
ditentukan dengan memperhatikan segitiga kelas tekstur tanah, (6) Tinggi top
soil tanah diukur dengan menggunakan penggaris, (7) Vegetasi yang terdapat di
lokasi pencuplikan diperhatikan kemudian catat spesies tumbuhan yang terdapat
di lokasi tersebut.
Pada pengukuran faktor kimia tanah yaitu mengukur pH tanah dengan
menggunakan tanah cuplikan sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan akuades sebanyak 3 ml. Kemudian aduk campuran tersebut dan
biarkan selama 5 menit dan pH diukur dengan kertas indikator pH.
Pencuplikan hewan tanah dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode dinamik
(menggunakan corong Barlese-Tulgran) dan metode mekanik (pitfal trap). Pencuplikan
hewan tanah dengan metode dinamik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
(1) Tanah cuplikan dibawa ke laboratorium dan diusahakan agar saat tanah
diambil sampai diletakkan dalam alat tidak lebih dari 3 jam, (2) Tanah cuplikan
dimasukkan ke dalam corong Barlese-Tulgran yang memiliki sumber panas berupa
cahaya lampu sehingga memasksa hewan tanah turun dan jatuh ke bawah corong, (3)
Botol koleksi yang telah berisi alkohol 70% dan diolesi dengan vaseline
diletakkan dibawa corong Barlese-Tulgran agar hewan yang jatuh dapat masuk
langsung ke dalam botol koleksi, dan (4) Pencuplikan diamati selama 7 hari. Kemudian
hasil pencuplikan diidentifikasi dan dicatat. Sedangkan pencuplikan hewan tanah
dengan metode mekanik dapat dilakukan dengan cara : (1) Botol perangkap diisi
dengan alkohol 70% dan diolesi dengan vaselin, (2) Botol perangkap tersebut
diletakkan sejajar dengan permukaan tanah di lokasi pencuplikan, (3) Perangkap
tersebut diberi atap agar air hujan tidak masuk ke dalam botol perangkap, (4) Pencuplikan
diamati selama 7 hari. Kemudian hasil pencuplikan diidentifikasi dan dicatat.
Parameter yang diamati dalam pengukuran faktor fisika kimia tanah
adalah suhu, konsistensi, tekstur tanah di lapangan, pH, top soil, vegetasi dan
tekstur tanah hasil laboratorium. Sedangkan parameter pada pencuplikan hewan
tanah adalah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor fisika kimia tanah dapat menentukan keberadaan hewan tanah.
Hasil pengukuran faktor fisika kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Hasil
pengukuran faktor fisika kimia tanah
Stasiun
|
Parameter
|
||||||
Suhu (0C)
|
Konsistensi
|
Tekstur lapangan
|
Tekstur laboratorium
|
pH
|
Top soil (cm)
|
Vegetasi
|
|
I
|
28
|
Gembur
|
Lempung
liat berpasir
|
Lempung
|
6
|
1,5
|
Rumput
gajah, spesies A
|
II
|
26
|
Sangat
gembur
|
Lempung
berliat
|
Lempung
berpasir
|
6
|
2
|
Mangga,
pulai, mahoni
|
III
|
28
|
Lepas
|
Pasir
berlempung
|
Pasir
berlempung
|
5
|
0
|
-
|
IV
|
28
|
Gembur
|
Lempung
liat berpasir
|
Liat
berpasir
|
5
|
2
|
Rumput,
akar kayu putih
|
V
|
26
|
Sangat
gembur
|
Lempung
|
Lempung
liat berpasir
|
5
|
2
|
Mahoni,
karet, rumput
|
VI
|
26
|
Sangat
gembur
|
Pasir
berlempung
|
Lempung
|
5
|
1,6
|
Sp
A, sp B
|
VII
|
27
|
Gembur
|
Lempung
berkilat
|
Lempung
berliat
|
6
|
1
|
Rumput
|
VIII
|
27
|
Gembur
|
Lempung
liat berpasir
|
Lempung
liat berdebu
|
6
|
1,5
|
Rumput
gajah, pulai
|
IX
|
28
|
Teguh
|
Lempung
liat berdebu
|
Liat
|
5
|
3
|
Rumput,
sp A, sp B, sp C, sp D
|
X
|
28
|
Gembur
|
Lempung
berpasir
|
Lempung
berliat
|
6
|
1
|
Belimbing,
Boreria sp
|
Keterangan: I=belakang UP2B, II=belakang kebun,
III=depan kebun (tidak ada tanaman), IV=depan kebun (ada tanaman), V=kebun
lama, VI=depan jurnal, VII=samping labor PMIPA, VIII=belakang labor PMIPA,
IX=samping UP2B, X=belakang labor IPS
Hasil pengukuran faktor fisika kimia tanah masing-masing stasiun pada
Tabel 1. menunjukkan kondisi yang berbeda. Pada masing-masing stasiun memiliki
kisaran suhu 260C-280C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
tanah masih dapat mendukung pertumbuhan organisme di masing-masing stasiun. Menurut
Donahur, dkk (1977), suhu tanah yang merupakan salah satu contoh faktor fisika
tanah mengalami perubahan dari pengembunan secara terus menerus pada kedalaman
yang dangkal di banyak tanah di daerah Alaska yang beku sampai ke Hawai yang
tropis, dimanapun jarang ditemukan suhu tanah dapat mencapai 1000F
(37,80 C) pada hari yang panas sekalipun. Pada kebanyakan permukaan
bumi, suhu tanah harian jarang mengalami perubahan pada kedalaman 20 inchi (51
cm) tetapi dibawah kedalaman tersebut suhu tanah akan mengalami perubahan yang
secara lambat menunjukkan pertambahan derajat suhu sekitar 20F.
Konsistensi tanah gembur diperoleh pada stasiun I, stasiun IV, stasiun
VII, stasiun VIII dan stasiun X. Sedangkan konsistensi tanah sangat gembur
diperoleh pada stasiun II, stasiun V dan stasiun VI. Pada stasiun III
menunjukkan konsistensi tanah yang lepas dan pada stasiun IX menunjukkan tanah
yang teguh. Semakin gembur konsistensi suatu tanah maka akan memilki kadar
organik yang semakin baik sehingga mendukung pertumbuhan organisme untuk hidup
di lingkungan tersebut.
Secara umum, hasil uji tekstur tanah di lapangan dan di laboratorium
menunjukkan hasil yang tidak sama. Hal ini dapat disebabkan oleh
ketidaktelitian praktikan dalam mengidentifikasi tekstur tanah di lapangan. Berdasarkan
hasil uji tekstur tanah di laboratorium, tekstur tanah yang diperoleh adalah
bersifat lempung pada stasiun I dan stasiun V, lempung berliat pada stasiun II,
pasir berlempung pada stasiun III dan stasiunVI, lempung liat berpasir pada
stasiun IV, lempung berkilat pada stasiun VII, lempung liat berpasir pada
stasiun VIII, lempung liat berdebu pada stasiun IX, dan lempung berpasir pada
stasiun X.
Masing-masing stasiun menunjukkan pH dengan kisaran 5-6. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi tanah pencuplikan bersifat sedikit asam. Pada
pengukuran top soil, stasiun yang memiliki top soil tertinggi adalah pada stasiun
IX sebesar 3 cm. Sedangkan, stasiun yang tidak memiliki top soil adalah stasiun
III karena stasiun tersebut termasuk kondisi lingkungan yang tidak memiliki
vegetasi sehingga tidak menghasilkan top soil. Selain itu, dilihat dari segi
konsistensi tanah yang lepas dan tekstur tanah yang bersifat pasir berlempung
merupakan kondisi tanah yang tidak mendukung untuk vegetasi.
Vegetasi pada masing-masing stasiun memiliki jumlah dan jenis spesies
yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh suhu dan pH. Semakin optimal suhu dan pH
suatu lingkungan, maka semakin baik vegetasi yang dihasilkan di lingkungan
tersebut. Selain suhu dan pH, vegetasi juga dipengaruhi oleh konsistensi dan
tekstur tanah.
Hasil pengukuran faktor fisika kimia tanah berdasarkan pada tabel 1.
diatas, akan mempengaruhi keberadaan hewan tanah pada lokasi pencuplikan
tersebut. Semakin optimal faktor fisika kimia tanah pada suatu lingkungan maka
akan semakin tinggi jumlah hewan tanah yang berada di lingkungan tersebut. Hal
ini dikarenakan kebutuhan hewan tanah didukung oleh faktor fisika kimia yang
tersedia optimal. Hasil pencuplikan hewan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.
berikut ini.
Tabel 2. Hasil
pencuplikan hewan tanah
Stasiun
|
∑
|
Pi
|
K
|
C
|
H'
|
I
|
13
|
0,08
|
325
|
0,0064
|
0,206
|
II
|
19
|
0,12
|
475
|
0,0144
|
0,255
|
III
|
6
|
0,04
|
150
|
0,0016
|
0,124
|
IV
|
33
|
0,21
|
825
|
0,0441
|
0,327
|
V
|
44
|
0,28
|
1100
|
0,0784
|
0,356
|
VI
|
10
|
0,06
|
250
|
0,0036
|
0,175
|
VII
|
7
|
0,04
|
175
|
0,0016
|
0,138
|
VIII
|
1
|
0,01
|
25
|
0,0001
|
0,032
|
IX
|
11
|
0,07
|
275
|
0,0049
|
0,186
|
X
|
14
|
0,09
|
350
|
0,0081
|
0,215
|
Jumlah
|
158
|
1,00
|
3950
|
0,163
|
2,013
|
Keterangan : ∑=jumlah
spesies, Pi=komposisi jenis, K=kerapatan, C=dominansi, H’=indeks keanekaragaman
Berdasarkan Tabel 2. diatas, jumlah seluruh spesies yang diperoleh di
lokasi pencuplikan adalah 158 individu. Stasiun yang memiliki jumlah spesies
yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah stasiun V, stasiun IV,
stasiun II, stasiun X, stasiun I, stasiun IX, stasiun VI, stasiun VII, stasiun
III, dan stasiun I. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spesies yang paling tinggi
adalah pada stasiun V sebesar 44 individu. Sedangkan jumlah spesies yang paling
rendah adalah pada stasiun VIII sebesar 1 individu. Jumlah individu yang
terdapat pada masing-masing stasiun akan mempengaruhi nilai kerapatan,
dominansi dan indeks keanekaragaman. Semakin tinggi jumlah individu di suatu
lingkungan maka semakin tinggi kerapatan, dominansi dan indeks keanekaragaman
di lingkungan tersebut. Menurut Leksono (2007), indeks keanekaragaman digunakan
untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan terhadap komunitas makrofauna
tanah. Keanekaragaman spesies menunjukkan jumlah total proporsi suatu spesies
relatif terhadap jumlah total individu yang ada.
Masing-masing stasiun menunjukkan nilai indeks keanekaragaman kurang
dari 1,5. Menurut Maguran (1988), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener jika
kurang dari 1,5 maka lingkungan tersebut memiliki keanekaragaman yang rendah.
Namun, jika diakumulasikan, indeks keanekaragaman di seluruh lokasi pencuplikan
menunjukkan nilai 2,013. Menurut Maguran (1988), apabila indeks keanekaragaman
sekitar 1,5-3,5 maka lingkungan tersebut memiliki keanekaragaman yang sedang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi lingkungan
pencuplikan secara umum memiliki keanekaragaman yang sedang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisika kimia tanah dan pencuplikan
hewan tanah yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa faktor fisika kimia
tanah di suatu lingkungan akan mempengaruhi keberadaan hewan tanah di
lingkungan tersebut. Apabila suhu, pH, konsistensi dan tekstur tanah di suatu
lingkungan cukup optimal maka vegetasi di lingkungan tersebut juga akan baik.
Vegetasi yang baik merupakan habitat yang bagus untuk keberadaan hewan tanah
sehingga keberadaan hewan tanah di lingkungan tersebut akan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Donahue, R.L., R.W. Miller, and J.C. Shickluna.
1977. Soils An Introduction to Soils and Plant Growth Fourth Edition. Prentice
Hall Inc, New jersey.
Foth,
Henry d. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
Leksono, A.Setyo. 2007. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif.
Bayumedia Malang.
Maguran, A. E. (1988). Ecological
Diversity and Its Measurement. Princeton Universitu Press. USA
Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo.
Jakarta
Suin, N.M. 2006. Ekologi
Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta
Komentar
Posting Komentar